Hingga
sampailah bacaanku pada ceritanya tentang “Permulaan Belajar Mengaji.” Ah...
aku menyukai ceritanya itu. Sesekali aku tersenyum, gelak ketawa, bahkan rasa
iba dan sedih juga. Untungnya aku baca seorang diri, tak ada yang melihatnya. Namun
di sini, aku tak ingin menceritakan kisah mengajinya itu, tetapi dari ceritanya
itu mengingatkan daku akan memori masa kecilku dahulu. Ya, masa kecil sewaktu
aku mengaji bersama kawan-kawanku dahulu. Hingga tergeraklah hatiku ini untuk
menulis akan kisahku itu.
Bermula
adalah Ladang Peris nama desaku, dan Peris Baru nama dusunku. Hingga tahun 1994,
dusunku itu belum ada lagi listrik yang nyala di malam hari, hanya lampu
“teplok” saja yang ada di setiap masing-masing rumah. Langgar (baca: Mushalla)
belum ada lagi, sehingga Shalat Lima waktu hanya di rumah saja. Waktu itu aku
masih kecil, 4 tahun perkiraan umurku.
Puji
Allah, ayahku memutuskan untuk pindah rumah tak jauh dari rumah awalku, dan
dijadikanlah rumah awalku itu sebagai Langgar di dusun itu. Masih ingat padaku
akan hakiki Langgar itu, berlantaikan dan berdinding papan, lagi berpanggung. Ada
dua pohon durian, dua pohon petai (baca: pete) dan jalan raya di depannya; di
sebelah kanannnya terdapat dua pohon kelapa; dan persekitarannya lagi dikelilingi oleh pohon
parah (baca: karet).
Akhirnya
“Diesel Listrik” pun masuk, puji Allah, salah seorang warga di dusunku memilikinya
dan baik jasanya. Ia salurkan listriknya itu ke Langgar dan sebagian rumah-rumah
di dusunku. Bahagia rasanya. Namun tidak 24 jam penuh hidupnya, hanya dari
pukul 6 sore hingga 10-12 malam saja. Terkadang ada juga listrik itu tak hidup satu
minggu lamanya. Begitulah keadaannya dan kami mensyukurinya.
Hingga
sampai masa umurku, mengajilah daku di Langgar itu bersama teman-temanku. Sore-sore
hari kami sudah ke Langgar. Karena pengajian kami bermula selepas Shalat
Maghrib dan berakhir sebelum Shalat Isya’. Menjelang Maghrib ada waktu, kami
bermain. Petak umpet, kelereng, sumput lidi, patok lele, lempar genteng, lompat
karet, dan cak ladang menjadi langganan permainan kami. Salah satu permainan
yang sering dimainkan oleh kami adalah ia itu petak umpet. Sesiapa yang jadi penjaganya,
maka kewalahanlah untuknya. Karena kadang-kadang teman-temanku itu buat jenaka juga,
mereka bersembunyi jauh di semak-semak pohon karet, maka sulitlah penjaga itu untuk
mendapatkannya. Ada juga kami main cak ladang. Aku menyukainya. Badan kecik
(baca: kecil), lari kencang, kurus lagi, maka senanglah aku bisa lolos dari
perangkap penjaga cak ladang itu.
Syahdan,
mengajilah daku dengan kedua kakakku sebagai guru mengaji di Langgar itu
beberapa lamanya. Ternyata sifat kakakku tak seperti di rumah. Habislah aku
kena marah. Sampai-sampai aku tak berani melihatnya. Kalau melihat, maka
melototlah matanya. Satu huruf ada yang salah, maka kuping (baca: telinga) lah
jadi sasaran jewerannya atau rotan sebagai pecutannya. Makian-makiannya sudah
kebal di telingaku. Begitu pula dengan teman-temanku, sama serupa denganku.
Apabila tidak ada yang menangis, maka hebatlah ia. Menangis karena mengaji
sudah kelaziman bagi kami saat itu. Meskipun guru mengajiku adalah kakakku, tetapi
tidak ada perbedaan di mata kakakku antara aku dengan teman-temanku lainnya.
Lamalah
aku mengaji dengan kakakku. Kadang-kadang sebagai tambahan, aku mengaji di
rumah. Suatu ketika salah satu kakakku memarahiku karena bacaanku masih ada
yang salah. Tajwid, panjang-pendek, dan penyebutan huruf sering aku
melanggarnya. Maka menangislah daku ketika itu. Hebatlah diriku jika tipa-tiap
mengaji tiada membuat urat kakakku menegang dan merah mukanya. Namun itu nihil
belaka hingga beberapa tahun lamanya. Maka tak heran, jika orang yang paling aku takutkan dalam
mengaji adalah ia kakakku itu.
Ketika pengajianku
masih Iqra’, aku sering keliru membedakan antara huruf Sad dan Dad, menyebutkan
huruf Kha dan Ghayn; antara Tsa, Sin, dan Syin. Manakala sudah al-Qur’an, hukum
tajwidlah kelemahanku, mana itu Idgham, Ikhfa’, dan Idzhar. Kalau Iqlab senang aku
menghapalnya karena cuma satu huruf yaitu “Ba”. Belum lagi bacaan yang mengandung
panjang dan pendek, kadang-kadang bacaan yang panjang dipendekkan dan yang pendek
malah dipanjangkan. Apabila masih ada yang salah dalam bacaannya itu, maka tak dinaikkanlah
pengajianku. Begitulah keadaan mengajiku hingga aku benar-benar sempurna bacaannya.
Namun,
kakakku tak selalunya marah, ada jiwa kehumoran padanya. Itulah yang
menyebabkan daku dan teman-temanku betah (baca: tahan) belajar dengannya. Masih
teringat padaku akan kisah mengaji di bulan puasa. Meskipun di bulan puasa,
kami tetap mengaji. Waktunya adalah selepas Shalat Asar dan selepas Shalat
Subuh. Di waktu Asar, setelah selesai mengaji, salah satu kakakku sering bercerita
tentang kisah-kisah Nabi dan kisah-kisah lainnya. Kami sangat menyukainya. Apabila
hampir waktu berbuka, maka pulanglah kami semua. Sedangkan waktu Subuh, hanya
untuk murid tertentu saja. Kakakku mengajarkan bacaan Salawat dan Barzanzi pada kami. Aku
suka. Saat inipun daku masih ingat akan nada Salawat dan Barzanzi itu, meskipun
sudah 14 tahun lamanya! Ah.. rindu akan suasananya.
“Ambillah
madu itu ketika sudah masa matangnya,” begitulah perumpamaannya. Aku baru tahu kenapa
kakakku begitu galak mengajarkan daku dan teman-temanku saat kecil dahulu. Hari inilah
kurasai akan manisnya pengajaran itu, terlebih daripada segala perkara yang
manis. Berkata orang Arif: "apabila engkau dapat uang, belilah emas. Emas dijual, belikan intan. Intan dijual, belikan manikam (batu mutiara). Jualkan pula manikam, belikan ilmu." Maka demikian besarlah nilai harga ilmu itu. Adalah ilmu itu dijadikan Allah Ajaib padanya; ia tidak dimakan ulat, tidak rusak karena hujan dan panas, tidak bisa diambil oleh pencuri, tidak menyusahkan atau memberatkan di kala memikul, dan tidak pula ia memintakan makan dan minum. Oleh mereka yang mengajarkan daku akan ilmu mengaji itu, ku mendo'akan semoga selalu dicucurkan rahmat dan keberkahan dari Allah s.w.t., di dunia dan akhirat.
Cukuplah
bagiku untuk mengisahkan setitis perjalanan belajar mengajiku di dalam tulisan ini. Tak ada kata
penutup yang lebih baik dalam tulisanku ini selain daripada nasehat
Abdullah Munsyi yang dirahmati:
“Maka bahwasanya aku wasiatkan akan nasihatku
ini bagi segala kanak-kanak yang ada dibukakan Allah mata hatinya. Maka jikalau
sekiranya ada umurmu seribu tahun sekalipun, maka janganlah engkau takut
membelanjakan dia sebab menuntut ilmu; karena dapat tiada hamba Allah dalam
dunia ini semuanya menghendaki kebesaran dan kemuliaan dan kekayaan, maka
seorang juapun tiada yang benci akan perkara yang tersebut itu. Maka jikalau
demikian, bahwa ilmu itulah tangganya akan menaiki segala perkara yang tersebut
itu; dan lagi jikalau ada ilmu itu bagimu sekali-kali tiada engkau akan
terbuang, dan tiada pula engkau dihinakan orang, melainkan termulia juga
adanya; dan lagi yaitu kelak boleh menolong akan dikau dari dunia sampai ke
akhirat.” (Hikayat Abdullah, hal. 19)
(Kuala
Lumpur, 07 Oktober 2014)