Oleh: Mukhlas Nugraha
Ide tulisan ini bermula ketika salah seorang
temanku bertanya mengenai tujuanku kuliah di sini (CASIS). Saat itu jawabanku adalah
mencari ilmu, mendapatkan pengalaman dari negeri orang, dan di samping beasiswa
yang telah aku dapatkan. Temanku merespon sangat baik atas jawabanku. Memang
benar, itu baik dan gak ada salahnya. Setelah merespon jawabanku beliau pun
memberi nasehat kepadaku bahwa ada satu tujuan yang telah lupa olehku, yaitu mencari
guru. Penjelasan beliau yang cukup panjang tentang pentingnya mencari guru membuatku
berpikir jauh dan menganggukkan kepala menandakan memahaminya. Aku tidak terpikir sampai
ke sana. Kemudian, nasehat-nasehat beliau itu aku rangkumkan dan akhirnya aku
berniat untuk membuat sebuah tulisan. Tulisan yang aku harap mengandung manfaat
bagi para pembaca dan penulis pribadi.
--------------------------
Sudah sewajarnya, apabila
seseorang menuntut ilmu keluar kampung atau kuliah ke negeri orang untuk
menimba ilmu tujuan utamanya, juga mendapatkan pengalaman yang lebih banyak daripada
sebelumnya. Bermacam-macam tujuan menuntut ilmu dengan tujuan yang mulia. Baik
itu selepas dari Sekolah Menengah/Aliyah melanjutkan kuliah di Institut atau Universitas,
maupun selepas keserjanaannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, Master atau Doctor.
Tetapi seperti yang aku tulis sebagai introduction di
atas, ada satu hal yang kita tidak menyadarinya, lupa atau belum mengetahui,
bahwa mencari guru merupakan salah satu adab dalam mencari ilmu. Kenapa?
Itulah pertanyaan yang akan dibawa dalam tulisan ini. Zaman sekarang yang
dipengaruhi kemodenan yang kemilau, boleh jadi menyebabkan kita lupa terhadap
tradisi yang telah diwariskan oleh ulama kita dahulu. Tiada menoleh lagi apa
yang diajarkan dan diwariskan oleh mereka untuk kita. Padahal banyak
sekali mutiara-mutiara pelajaran dari mereka yang dapat diambil untuk zaman
kita sekarang ini.
Mencari guru termasuk bagian kecil dari warisan mereka.
Dalam kitab Adab ’Alim wa Muta’allim, Kyai Haji Hasyim Asy’ari
menasehati bahwa etika murid terhadap guru salah satunya adalah memilah guru
yang betul-betul mampu dan diakui kapasitas keilmuannya, (maksudnya seorang
murid harus mencari dan memilih guru
yang betul-betul memilih kualifikasi sebagai seorang guru). Nasehat sang
Kyai sangat bermanfaat bagi kita, kenapa? sebab yang memberi pengaruh besar
untuk merubah kepribadian, intelektual,
ketajaman akal, dan pemikiran si murid adalah sang guru. Kita juga bisa
melihat dalam beberapa kitab diantaranya kitab Syadzarāt al-Zahab fī
Akhbāri man Zahab karya Imam Ibn al-Imad al-Hanbali; Al-Durar al-Kāminah
fi aʻyan al-Mā’ah al-Thāminah karya Imam Ibn Hajar al-Asqalānī; Bughyat
al-Wuʻāh oleh Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī; Al-Dhayl ‘Alā
Ṭabaqāt al-Ḥanābilah oleh Imam Ibn Rajab dan kitab-kitab lainnya yang
menulis tentang riwayat kehidupan atau perjalanan hidup para ulama dalam
menuntut ilmu, seterusnya juga tentang siapakah guru-gurunya, murid-muridnya,
kedudukannya dan otoritas keilmuwan ulama berkenaan tersebut. Imam al-Khatīb al-Baghdādī
contohnya, dalam Syadzarāt al-Zahab menukilkan bahwa beliau mempunyai
banyak guru, dan gurunya yang terkenal adalah al-Qādhi Abū al-Thib al-Thibri,
Abul Hasan al-Mahāmali, Abū ‘Umar bin Mahdi, dan Ibnu al-Ṣalat al-Ahwazi. Oleh
karenanya peran guru-guru Imam al-Khatīb yang memiliki keilmuan yang tinggi telah
boleh menjadikan diri Imam al-Khatīb memiliki ilmu yang luas.
Demikian pula, perjalanan mereka pergi nan jauh keluar negeri,
demi mencari ilmu yang lebih daripada sebelumnya dan tak terlepas pula mencari guru
yang akan mengajarkannya. Adalah Imam al-Syāfiʻī, seorang Imam yang tiada satupun tiada mengenalnya. Mazhab terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Beliau
pergi keluar kampungnya untuk berguru dengan seorang ulama besar, Imam Mālik (pendiri
mazhab Mālikī). Sebelum bertemu Imam Mālik terlebih dahulu Imam al-Syāfiʻī
menghafal kitab al-Muwaṭṭa’ karya Imam Malik dalam usia 10 tahun, hanya jangka
waktu 10 hari saja imam al-Syāfiʻī telah menghapal keseluruhannya. Begitu pula apabila
kita membaca riwayat hidup ulama pendiri empat mazhab, Imam Hanafī, Imam Mālik,
Imam al-Syāfiʻī dan Imam al-Hanbalī ternyata ada saling kesinambungan ilmu
(sanad) di antara mereka meskipun ada beberapa perbedaan Ijtihad. Imam Hanafi
adalah guru daripada Imam Mālik, Imam Mālik adalah guru daripada Imam
al-Syāfiʻī dan Imam al-Syāfiʻī adalah guru daripada Imam al-Hanbali.
Seterusnya adakah kalian mengenal imam al-Dzahabī?
Seorang ulama pakar dalam bidang Hadīts, sejarah Islām, Syaikh Jarh wa Ta’dil
dan ahli dalam ilmu Kalam. Tahukah berapa jumlah guru beliau? Beliau memiliki
guru mencapai 1043 sehingga beliau menulis dalam satu kitab khusus untuk nama
guru-gurunya tersebut dalam kitab “Mu’jam Syuyūkh al-Dzahabī”. Begitulah rasa
hormatnya al-Dzahabī kepada sang gurunya.
Sekarang, apakah mencari guru masih nampak di zaman kita?
Ada tetapi dengan pandangan samar. Ada
hal yang menyebabkan seseorang itu menganggap mencari guru itu tidak begitu
penting bagi dirinya. Kemungkinan besar sang murid telah menaruh kepercayaan
baik kepada sekolah/universitas dengan adanya guru/dosen di sana. Ini
juga baik, tidak ada salahnya, karena tidak ada larangan bagi kita berguru
kepada siapa saja. Akan tetapi alangkah baiknya jika sang murid tidak hanya
melihat sekolah/universitasnya saja tetapi juga guru pengajar di dalamnya. Guru yang
akan membawa perubahan besar bagi dirinya.
Seumpama seorang murid ingin menjadi seorang ahli sains,
maka ia harus berguru dengan ahli sains pula. Tentunya guru yang ahli dalam
bidang sains itu banyak jumlahnya. Ia mempunyai leluasa untuk berguru kepada
siapa saja. Akan tetapi tentu ia akan memilih guru dari sekian guru ahli sains
tersebut sebagai pengajarnya nanti. Bagaimana ia memilih dan mencarinya? Bisa dengan
bertanya kepada guru di masa sekolah
dulu, orang tua, teman sejawat, seseorang yang mempunyai pengalaman yang
lebih dari dia, atau mencarinya dengan membaca buku sains yang otoritatif
menurutnya dan melihat siapakah penulis buku itu, di sanalah ia bisa menilai
kepada siapa ia akan berguru.
Dalam tulisan ini tidaklah menjadikan mencari sekolah/universitas
itu tidak penting. Adalah hak murid belajar di mana saja sesuai dengan kehendak
dan kesesuaiannya. Tetapi dalam tulisan ini menekankan mencari guru jangan
dikesampingkan dalam tujuan menuntut ilmu. Harapannya adalah sang murid
mendapatkan perubahan dalam dirinya, mempunyai kepuasan dalam belajar, bangga
terhadap gurunya, dan mendapatkan sanad ilmu daripada gurunya, serta tak
terlepas pula bangga terhadap sekolah/universitas sebagai tempat ia belajar. Dengan begitu
perkataan “aku adalah murid dari guru ini dan ini” tidak terdengar asing di zaman ini.
KL. 01 September 2012; 00:28 pm