Laman

Senin, 06 Oktober 2014

Setitis Perjalanan Belajar Mengaji Dahulu

Hari ini, kuluangkan waktuku untuk membaca salah satu buku yang ditulis oleh ahli sejarawan dan sastrawan terkenal di Alam Melayu, Abdullah Munsyi namanya. Lahir pada tahun 1796 di Kampung Pali, Melaka, dari keluarga India Islam, turunan Arab. “Hikayat Abdullah” demikian buku tersebut ia namakan, bermaksud “hikayat dirinya semasa hidupnya.” Halaman perhalaman aku buka dan baca secara seksama. Ketika aku membacanya, seolah-olah aku berada di zaman akhir abad ke-18, atau 200 tahun yang lalu! Bahasanya yang sarat mengandung sastra dan nilai membuat aku menyukainya. Sangat berbeda tata bahasanya dengan bahasa Malaysia saat ini dan juga bahasa Indonesia. Mungkin teman-teman ingin mencoba membacanya, meskipun awal-awal sedikit sukar untuk memahaminya.
Hingga sampailah bacaanku pada ceritanya tentang “Permulaan Belajar Mengaji.” Ah... aku menyukai ceritanya itu. Sesekali aku tersenyum, gelak ketawa, bahkan rasa iba dan sedih juga. Untungnya aku baca seorang diri, tak ada yang melihatnya. Namun di sini, aku tak ingin menceritakan kisah mengajinya itu, tetapi dari ceritanya itu mengingatkan daku akan memori masa kecilku dahulu. Ya, masa kecil sewaktu aku mengaji bersama kawan-kawanku dahulu. Hingga tergeraklah hatiku ini untuk menulis akan kisahku itu.
Bermula adalah Ladang Peris nama desaku, dan Peris Baru nama dusunku. Hingga tahun 1994, dusunku itu belum ada lagi listrik yang nyala di malam hari, hanya lampu “teplok” saja yang ada di setiap masing-masing rumah. Langgar (baca: Mushalla) belum ada lagi, sehingga Shalat Lima waktu hanya di rumah saja. Waktu itu aku masih kecil, 4 tahun perkiraan umurku.
Puji Allah, ayahku memutuskan untuk pindah rumah tak jauh dari rumah awalku, dan dijadikanlah rumah awalku itu sebagai Langgar di dusun itu. Masih ingat padaku akan hakiki Langgar itu, berlantaikan dan berdinding papan, lagi berpanggung. Ada dua pohon durian, dua pohon petai (baca: pete) dan jalan raya di depannya; di sebelah kanannnya terdapat dua pohon kelapa; dan  persekitarannya lagi dikelilingi oleh pohon parah (baca: karet).
Akhirnya “Diesel Listrik” pun masuk, puji Allah, salah seorang warga di dusunku memilikinya dan baik jasanya. Ia salurkan listriknya itu ke Langgar dan sebagian rumah-rumah di dusunku. Bahagia rasanya. Namun tidak 24 jam penuh hidupnya, hanya dari pukul 6 sore hingga 10-12 malam saja. Terkadang ada juga listrik itu tak hidup satu minggu lamanya. Begitulah keadaannya dan kami mensyukurinya.
Hingga sampai masa umurku, mengajilah daku di Langgar itu bersama teman-temanku. Sore-sore hari kami sudah ke Langgar. Karena pengajian kami bermula selepas Shalat Maghrib dan berakhir sebelum Shalat Isya’. Menjelang Maghrib ada waktu, kami bermain. Petak umpet, kelereng, sumput lidi, patok lele, lempar genteng, lompat karet, dan cak ladang menjadi langganan permainan kami. Salah satu permainan yang sering dimainkan oleh kami adalah ia itu petak umpet. Sesiapa yang jadi penjaganya, maka kewalahanlah untuknya. Karena kadang-kadang teman-temanku itu buat jenaka juga, mereka bersembunyi jauh di semak-semak pohon karet, maka sulitlah penjaga itu untuk mendapatkannya. Ada juga kami main cak ladang. Aku menyukainya. Badan kecik (baca: kecil), lari kencang, kurus lagi, maka senanglah aku bisa lolos dari perangkap penjaga cak ladang itu.
Syahdan, mengajilah daku dengan kedua kakakku sebagai guru mengaji di Langgar itu beberapa lamanya. Ternyata sifat kakakku tak seperti di rumah. Habislah aku kena marah. Sampai-sampai aku tak berani melihatnya. Kalau melihat, maka melototlah matanya. Satu huruf ada yang salah, maka kuping (baca: telinga) lah jadi sasaran jewerannya atau rotan sebagai pecutannya. Makian-makiannya sudah kebal di telingaku. Begitu pula dengan teman-temanku, sama serupa denganku. Apabila tidak ada yang menangis, maka hebatlah ia. Menangis karena mengaji sudah kelaziman bagi kami saat itu. Meskipun guru mengajiku adalah kakakku, tetapi tidak ada perbedaan di mata kakakku antara aku dengan teman-temanku lainnya.
Lamalah aku mengaji dengan kakakku. Kadang-kadang sebagai tambahan, aku mengaji di rumah. Suatu ketika salah satu kakakku memarahiku karena bacaanku masih ada yang salah. Tajwid, panjang-pendek, dan penyebutan huruf sering aku melanggarnya. Maka menangislah daku ketika itu. Hebatlah diriku jika tipa-tiap mengaji tiada membuat urat kakakku menegang dan merah mukanya. Namun itu nihil belaka hingga beberapa tahun lamanya. Maka tak heran,  jika orang yang paling aku takutkan dalam mengaji adalah ia kakakku itu.
Ketika pengajianku masih Iqra’, aku sering keliru membedakan antara huruf Sad dan Dad, menyebutkan huruf Kha dan Ghayn; antara Tsa, Sin, dan Syin. Manakala sudah al-Qur’an, hukum tajwidlah kelemahanku, mana itu Idgham, Ikhfa’, dan Idzhar. Kalau Iqlab senang aku menghapalnya karena cuma satu huruf yaitu “Ba”. Belum lagi bacaan yang mengandung panjang dan pendek, kadang-kadang bacaan yang panjang dipendekkan dan yang pendek malah dipanjangkan. Apabila masih ada yang salah dalam bacaannya itu, maka tak dinaikkanlah pengajianku. Begitulah keadaan mengajiku hingga aku benar-benar sempurna bacaannya.
Namun, kakakku tak selalunya marah, ada jiwa kehumoran padanya. Itulah yang menyebabkan daku dan teman-temanku betah (baca: tahan) belajar dengannya. Masih teringat padaku akan kisah mengaji di bulan puasa. Meskipun di bulan puasa, kami tetap mengaji. Waktunya adalah selepas Shalat Asar dan selepas Shalat Subuh. Di waktu Asar, setelah selesai mengaji, salah satu kakakku sering bercerita tentang kisah-kisah Nabi dan kisah-kisah lainnya. Kami sangat menyukainya. Apabila hampir waktu berbuka, maka pulanglah kami semua. Sedangkan waktu Subuh, hanya untuk murid tertentu saja. Kakakku mengajarkan bacaan Salawat dan Barzanzi pada kami. Aku suka. Saat inipun daku masih ingat akan nada Salawat dan Barzanzi itu, meskipun sudah 14 tahun lamanya! Ah.. rindu akan suasananya.
“Ambillah madu itu ketika sudah masa matangnya,” begitulah perumpamaannya. Aku baru tahu kenapa kakakku begitu galak mengajarkan daku dan teman-temanku saat kecil dahulu. Hari inilah kurasai akan manisnya pengajaran itu, terlebih daripada segala perkara yang manis. Berkata orang Arif: "apabila engkau dapat uang, belilah emas. Emas dijual, belikan intan. Intan dijual, belikan manikam (batu mutiara). Jualkan pula manikam, belikan ilmu." Maka demikian besarlah nilai harga ilmu itu. Adalah ilmu itu dijadikan Allah Ajaib padanya; ia tidak dimakan ulat, tidak rusak karena hujan dan panas, tidak bisa diambil oleh pencuri, tidak menyusahkan atau memberatkan di kala memikul, dan tidak pula ia memintakan makan dan minum. Oleh mereka yang mengajarkan daku akan ilmu mengaji itu, ku mendo'akan semoga selalu dicucurkan rahmat dan keberkahan dari Allah s.w.t., di dunia dan akhirat.
Cukuplah bagiku untuk mengisahkan setitis perjalanan belajar mengajiku di dalam tulisan ini. Tak ada kata penutup yang lebih baik dalam tulisanku ini selain daripada nasehat Abdullah Munsyi yang dirahmati:
“Maka bahwasanya aku wasiatkan akan nasihatku ini bagi segala kanak-kanak yang ada dibukakan Allah mata hatinya. Maka jikalau sekiranya ada umurmu seribu tahun sekalipun, maka janganlah engkau takut membelanjakan dia sebab menuntut ilmu; karena dapat tiada hamba Allah dalam dunia ini semuanya menghendaki kebesaran dan kemuliaan dan kekayaan, maka seorang juapun tiada yang benci akan perkara yang tersebut itu. Maka jikalau demikian, bahwa ilmu itulah tangganya akan menaiki segala perkara yang tersebut itu; dan lagi jikalau ada ilmu itu bagimu sekali-kali tiada engkau akan terbuang, dan tiada pula engkau dihinakan orang, melainkan termulia juga adanya; dan lagi yaitu kelak boleh menolong akan dikau dari dunia sampai ke akhirat.” (Hikayat Abdullah, hal. 19)


(Kuala Lumpur, 07 Oktober 2014)