Laman

Sabtu, 31 Agustus 2013

Mencari Guru: Tradisi Ilmu Islām yang Hilang


Oleh: Mukhlas Nugraha

Ide tulisan ini bermula ketika salah seorang temanku bertanya mengenai tujuanku kuliah di sini (CASIS). Saat itu jawabanku adalah mencari ilmu, mendapatkan pengalaman dari negeri orang, dan di samping beasiswa yang telah aku dapatkan. Temanku merespon sangat baik atas jawabanku. Memang benar, itu baik dan gak ada salahnya. Setelah merespon jawabanku beliau pun memberi nasehat kepadaku bahwa ada satu tujuan yang telah lupa olehku, yaitu mencari guru. Penjelasan beliau yang cukup panjang tentang pentingnya mencari guru membuatku berpikir jauh dan menganggukkan kepala menandakan memahaminya. Aku tidak terpikir sampai ke sana. Kemudian, nasehat-nasehat beliau itu aku rangkumkan dan akhirnya aku berniat untuk membuat sebuah tulisan. Tulisan yang aku harap mengandung manfaat bagi para pembaca dan penulis pribadi.
--------------------------
Sudah sewajarnya,  apabila seseorang menuntut ilmu keluar kampung atau kuliah ke negeri orang untuk menimba ilmu tujuan utamanya, juga mendapatkan pengalaman yang lebih banyak daripada sebelumnya. Bermacam-macam tujuan menuntut ilmu dengan tujuan yang mulia. Baik itu selepas dari Sekolah Menengah/Aliyah melanjutkan kuliah di Institut atau Universitas, maupun selepas keserjanaannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, Master atau Doctor.
Tetapi seperti yang aku tulis sebagai introduction di atas, ada satu hal yang kita tidak menyadarinya, lupa atau belum mengetahui, bahwa mencari guru merupakan salah satu adab dalam mencari ilmu. Kenapa? Itulah pertanyaan yang akan dibawa dalam tulisan ini. Zaman sekarang yang dipengaruhi kemodenan yang kemilau, boleh jadi menyebabkan kita lupa terhadap tradisi yang telah diwariskan oleh ulama kita dahulu. Tiada menoleh lagi apa yang diajarkan dan diwariskan oleh mereka untuk kita. Padahal banyak sekali mutiara-mutiara pelajaran dari mereka yang dapat diambil untuk zaman kita sekarang ini.
Mencari guru termasuk bagian kecil dari warisan mereka. Dalam kitab Adab ’Alim wa Muta’allim, Kyai Haji Hasyim Asy’ari menasehati bahwa etika murid terhadap guru salah satunya adalah memilah guru yang betul-betul mampu dan diakui kapasitas keilmuannya, (maksudnya seorang murid harus mencari dan memilih guru  yang betul-betul memilih kualifikasi sebagai seorang guru). Nasehat sang Kyai sangat bermanfaat bagi kita, kenapa? sebab yang memberi pengaruh besar untuk merubah kepribadian, intelektual,  ketajaman akal, dan pemikiran si murid adalah sang guru. Kita juga bisa melihat dalam beberapa kitab diantaranya kitab Syadzarāt al-Zahab fī Akhbāri man Zahab karya Imam Ibn al-Imad al-Hanbali; Al-Durar al-Kāminah fi aʻyan al-Mā’ah al-Thāminah karya Imam Ibn Hajar al-Asqalānī; Bughyat al-Wuʻāh oleh Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī; Al-Dhayl ‘Alā Ṭabaqāt al-Ḥanābilah oleh Imam Ibn Rajab dan kitab-kitab lainnya yang menulis tentang riwayat kehidupan atau perjalanan hidup para ulama dalam menuntut ilmu, seterusnya juga tentang siapakah guru-gurunya, murid-muridnya, kedudukannya dan otoritas keilmuwan ulama berkenaan tersebut. Imam al-Khatīb al-Baghdādī contohnya, dalam Syadzarāt al-Zahab menukilkan bahwa beliau mempunyai banyak guru, dan gurunya yang terkenal adalah al-Qādhi Abū al-Thib al-Thibri, Abul Hasan al-Mahāmali, Abū ‘Umar bin Mahdi, dan Ibnu al-Ṣalat al-Ahwazi. Oleh karenanya peran guru-guru Imam al-Khatīb yang memiliki keilmuan yang tinggi telah boleh menjadikan diri Imam al-Khatīb memiliki ilmu yang luas.
Demikian pula, perjalanan mereka pergi nan jauh keluar negeri, demi mencari ilmu yang lebih daripada sebelumnya dan tak terlepas pula mencari guru yang akan mengajarkannya. Adalah Imam al-Syāfiʻī, seorang Imam yang tiada satupun tiada mengenalnya. Mazhab terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Beliau pergi keluar kampungnya untuk berguru dengan seorang ulama besar, Imam Mālik (pendiri mazhab Mālikī). Sebelum bertemu Imam Mālik terlebih dahulu Imam al-Syāfiʻī menghafal kitab al-Muwaṭṭa’ karya Imam Malik dalam usia 10 tahun, hanya jangka waktu 10 hari saja imam al-Syāfiʻī telah menghapal keseluruhannya. Begitu pula apabila kita membaca riwayat hidup ulama pendiri empat mazhab, Imam Hanafī, Imam Mālik, Imam al-Syāfiʻī dan Imam al-Hanbalī ternyata ada saling kesinambungan ilmu (sanad) di antara mereka meskipun ada beberapa perbedaan Ijtihad. Imam Hanafi adalah guru daripada Imam Mālik, Imam Mālik adalah guru daripada Imam al-Syāfiʻī dan Imam al-Syāfiʻī adalah guru daripada Imam al-Hanbali.
Seterusnya adakah kalian mengenal imam al-Dzahabī? Seorang ulama pakar dalam bidang Hadīts, sejarah Islām, Syaikh Jarh wa Ta’dil dan ahli dalam ilmu Kalam. Tahukah berapa jumlah guru beliau? Beliau memiliki guru mencapai 1043 sehingga beliau menulis dalam satu kitab khusus untuk nama guru-gurunya tersebut dalam kitab “Mu’jam Syuyūkh al-Dzahabī”. Begitulah rasa hormatnya al-Dzahabī kepada sang gurunya.

 

Sekarang, apakah mencari guru masih nampak di zaman kita? Ada  tetapi dengan pandangan samar. Ada hal yang menyebabkan seseorang itu menganggap mencari guru itu tidak begitu penting bagi dirinya. Kemungkinan besar sang murid telah menaruh kepercayaan baik kepada sekolah/universitas dengan adanya guru/dosen di sana. Ini juga baik, tidak ada salahnya, karena tidak ada larangan bagi kita berguru kepada siapa saja. Akan tetapi alangkah baiknya jika sang murid tidak hanya melihat sekolah/universitasnya saja tetapi juga guru pengajar di dalamnya. Guru yang akan membawa perubahan besar bagi dirinya.
Seumpama seorang murid ingin menjadi seorang ahli sains, maka ia harus berguru dengan ahli sains pula. Tentunya guru yang ahli dalam bidang sains itu banyak jumlahnya. Ia mempunyai leluasa untuk berguru kepada siapa saja. Akan tetapi tentu ia akan memilih guru dari sekian guru ahli sains tersebut sebagai pengajarnya nanti. Bagaimana ia memilih dan mencarinya? Bisa dengan bertanya kepada guru di masa sekolah  dulu, orang tua, teman sejawat, seseorang yang mempunyai pengalaman yang lebih dari dia, atau mencarinya dengan membaca buku sains yang otoritatif menurutnya dan melihat siapakah penulis buku itu, di sanalah ia bisa menilai kepada siapa ia akan berguru.
Dalam tulisan ini tidaklah menjadikan mencari sekolah/universitas itu tidak penting. Adalah hak murid belajar di mana saja sesuai dengan kehendak dan kesesuaiannya. Tetapi dalam tulisan ini menekankan mencari guru jangan dikesampingkan dalam tujuan menuntut ilmu. Harapannya adalah sang murid mendapatkan perubahan dalam dirinya, mempunyai kepuasan dalam belajar, bangga terhadap gurunya, dan mendapatkan sanad ilmu daripada gurunya, serta tak terlepas pula bangga terhadap sekolah/universitas sebagai tempat ia belajar. Dengan begitu perkataan “aku adalah murid dari guru ini dan ini” tidak terdengar asing di zaman ini.


KL. 01 September 2012; 00:28 pm